Selama sepekan ini, masyarakat dan lini masa sosial media terfokus pada pemberitaan Ijtima Ulama yang diselenggarakan oleh para Ulama dan beberapa pimpinan ormas Minggu lalu.

Hasil Ijtima ulama itu memberi kejutan dan angin Barru bagi peta politik Indonesia, sampai beberapa pihak memberikan pendapatnya, baik yang pro dan kontra

Hasil Ijtima Ulama itu memberikan dukungan terhadap Prabowo Subianto untuk menjadi Calon Presiden 2019 yang akan menghadapi Joko Widodo, hal menariknya adalah Ijtima Ulama memberikan rekomendasi agar pendamping Prabowo adalah Habib Salim Segaf Al Jufri dan Ust. Abdul Somad, 2 tokoh ini adalah ulama yang dianggap layak untuk mewakili umat Islam dan para ulama sebagai pendamping Prabowo

Pasca rekomendasi itu banyak pihak yang sepakat, setuju dengan tindakan Ijtima ulama itu sebagian lainnya juga menyoroti bahwa ulama yang tergabung dalam Ijtima itu hanya ulama yang punya kepentingan politik serta anti terhadap pemerintah yang sekarang

Saya kira pandang yang berseliweran terkait hasil Ijtima ulama itu adalah bagian dari dinamika politik yang terjadi di Indonesia saat ini

Munculnya nama ustad Abdul Somad sebagai calon dalam bursa cawapres juga memberi angin segar bagi masyarakat yang telah melihat kegaduhan dan problem di dalam bangsa ini karena akibat dari pemerintahan yang sedang berkuasa

Ustad Abdul Somad muncul sebagai tokoh populis yang diharapkan mampu berduet dan saling bekerja sama dengan prabowo Subianto untuk membawa bangsa ini kearah yang lebih baik

Harapan itu saya kira adalah harapan yang bisa kita pelihara sebagai anak bangsa, sebagai masyarakat yang menginginkan perubahan, ada semacam niat dari masyarakat untuk melakukan revolusi mental di tengah masyarakat dimana cita-cita tersebut seakan vakum di tengah pemerintahan Jokowi

Namun, disisi lain politik adalah ajang mencari dukungan dan mewujudkan kepentingan yang sarat dengan unsur negatif, amat banyak juga pihak yang menolak keikutsertaan Ulama dalam politik praktis, karena ditakutkan ajang berujung pada politisasi agama dan menciderai agama demi syahwat berkuasa

Arah baru politik

Adalah menarik apa yang disampaikan Fahri Hamzah pada acara ILC di TVOne tadi malam, Fahri melihat bahwa gelombang dukungan terhadap UAS adalah semacam residu dari kontestasi politik 2014 lalu dan juga dari kontestasi pilkada DKI

kontestasi politik di tahun 2014 secara tidak langsung terus mengalir sampai 2019 ini, nampaknya itu terlihat dari gencarnya kalangan oposisi yang terus menerus memberikan kritik pada pemerintahan Jokowi

Dilain pihak, pemerintahan Jokowi dengan cara yang vulgar seolah bersifat otoriter pada oposisi dan pada kaum Islam

Fahri menyebut, persekusi beberapa ulama, kriminalisasi Khilafah, persoalan Habib Rizieq, dan kasus-kasus lainnya menjadi batu sandingan bagi pemerintahan Jokowi untuk berkuasa selama 2 periode

Kehadiran oposisi dengan Prabowo sebagai tokoh sentral jua terasa menyisakan tontonan yang membosankan, pada akhirnya publik menebak bahwa Jokowi dan Prabowo kembalilah yang akan saling bertanding di babak pilpres 2019

Namun, di balik itu kehadiran tokoh ulama dan isu pencalonan ulama sebagai cawapres dari kedua tokoh ini menjadi semacam angin segar bagi politik Islam bagi bangsa ini

Ada harapan akan berkembangnya politik Islam dan pemenuhan kepentingan umat yang diwakili oleh ulama lewat calon wapres dari golongan religius islami

Inipun yang disampaikan oleh AA Gym bahwa ulama, siapapun yang menjadi wakil dari presiden bangsa ini harus bisa menunjukkan ketokohan dan kapasitasnya bukan hanya sekedar populis untuk mendukung calon yang ingin bertanding dalam kontestasi Pilpres.

Wallahu a'lam

9 Agustus 2018